Helo Timor Leste

Drone: Hal Gila Bagi Persenjataan Masa Depan Indonesia

Satwika Rumeksa - Teknologi
Kamis, 30 May 2024 20:00
    Bagikan  
Drone CH-5
Istimewa

Drone CH-5 - Drone CH-5 buatan China

HELOTIMORLESTE.COM -Setelah berbagai terobosan kontrak dengan berbagai pemasok peralatan militer untuk memperkuat persenjataannya, Indonesia kini mengincar drone ANKA, CH-4 China, dan Bayraktar MALE. Untuk negara sebesar Indonesia, di gudang Skuadron AU 51 hanya terdapat 6 UCAV yang semuanya CH-4B MALE buatan China.

Setelah mencapai kesepakatan dengan Prancis untuk jet tempur Rafale, dan PPA dengan Italia, mengapa UCAV masih dibutuhkan? Sebelum kita mencoba menjawab pertanyaan ini lebih dalam, kita mungkin harus menggali mengapa Indonesia tertarik pada UCAV yang disebutkan di atas.

CH-4
Meskipun terlihat mirip dengan MQ-9 Reaper AS, CH-4 adalah resep buatan Tiongkok yang sangat baik untuk melakukan operasi pengintaian atau ofensif. Dengan ketinggian maksimal 5000 meter dan mampu membawa hingga 6 senjata dengan muatan maksimal 345 kg, serasa mengambil satu set makanan Cina utuh dan tidak membaginya dengan teman, sebuah kepuasan mutlak.

Beroperasi pada jarak 5.000 meter berarti dapat beroperasi dengan aman di luar senjata antipesawat. Meskipun MQ-9 Reaper dibanderol dengan harga $16 juta , CH-4 dibanderol dengan harga $2 juta, yang masing-masingnya merupakan tawaran bagus bagi negara seperti Indonesia yang ingin memodernisasi persenjataannya.

Baca juga: Jepang Cegat Drone Supersonik WL-10/WZ-10 Tiongkok di Laut China Timur

ANKA
Meski belum jelas ANKA Indonesia mana yang ingin melakukan pengadaan, namun ANKA tidak boleh dianggap remeh. Bayangkan berjalan-jalan di hari yang cerah mengelilingi Istanbul sambil minum secangkir teh di pinggir Selat Bosphorus, rasa bahagianya adalah ketika bisa melihat musuh dari ketinggian 9000 meter tanpa terdeteksi.

ANKA UAV terutama untuk pengintaian dan pengawasan , yang sangat penting untuk pemetaan dan deteksi. Namun, dengan asumsi Indonesia akan membeli UCAV ANKA-3 terbaru, hal ini akan menjadi sebuah pukulan telak bagi pihak Indonesia. Dengan muatan maksimum 1,2 ton, pesawat ini dapat membawa multi-operasi dari jarak 12.000 meter (40.000 kaki). Memang, terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.

BAYRAKTAR
Bayraktar telah menjadi topik perbincangan hangat ketika menjadi ujung tombak upaya Ukraina untuk menangkis atau menyerang pasukan Rusia. Bagi beberapa ahli, Bayraktar telah terbukti dalam pertempuran . Seperti kita ketahui, Turki aktif mengirimkan UAV TB2 ke Ukraina dan juga menjadi senjata mematikan dalam konflik Nagorno-Karabakh.

Dengan daya tahan hingga 27 jam , sepasang cantelan amunisi dan ketinggian penempatan maksimum 27.000 kaki, TB2 telah diklasifikasikan sebagai UAV yang lebih taktis daripada sekadar melakukan operasi pengawasan dan pengintaian.

Berdasarkan daftar UAV di atas, kita memang bisa melihat betapa pentingnya peran UAV dalam konflik modern; tidak berawak, sulit dideteksi, efektif dan efisien. Pertanyaannya kemudian, apakah Indonesia memerlukannya?

Baca juga: Seorang Pramugari Patah Tulang Punggung Akibat Turbulensi Parah dalam Penerbangan di Turki

Drone Turki

Membela Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan hampir 18 ribu pulau, menjadikannya salah satu negara maritim terbesar di dunia. Di sebelah utara , Indonesia berbatasan dengan Malaysia, Filipina, Singapura, dan Laut China Selatan. Papua Nugini di timur, Timor Timur, dan Australia di selatan.

Berbeda dengan Australia yang sudah merumuskan bagian utaranya sebagai bagian penting yang harus dipertahankan, menentukan bagian mana dari Indonesia yang harus diprioritaskan untuk dipertahankan secara ketat adalah sebuah hal yang sulit.

Bukan hanya karena mereka tidak memiliki publikasi resmi yang memadai mengenai hal ini, distribusi yang tidak merata dan jumlah persenjataan yang tidak memadai juga menjadi faktor penyebabnya. Selain itu, sebagian besar medan di Indonesia tidak mampu dilalui kendaraan militer Indonesia, sehingga operasi militer sulit dilakukan.

Jadi, jika kita akan menggunakan konsep penilaian risiko, ada beberapa kesimpulan yang muncul. Secara sederhana variabel seperti kapabilitas, niat, dan kerentanan, kita bisa mengetahui mengapa beberapa alutsista sangat dibutuhkan oleh Indonesia, khususnya drone.

Kolonel Myers menjelaskan bahwa ada hubungan dinamis antara ketiga variabel tersebut ketika diterapkan baik pada pihak kita maupun pihak musuh. Sederhananya, jika kita memiliki kerentanan yang tinggi karena kurangnya niat dan kemampuan, maka tingkat ancamannya akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.

Mengingat buku putih pertahanan Indonesia , Indonesia menghadapi ancaman yang sangat besar akibat adanya permasalahan baik internal maupun eksternal. Mari kita fokus pada isu-isu internal seperti pemberontakan di Papua, Indonesia bagian timur.

Baca juga: Pelatihan Barista Timor Leste untuk Mendukung Industri Kopi Sebagai Penunjang Pariwisata di Bumi Lorosae

Banyak kasus penyergapan yang memakan korban jiwa di kalangan personel Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kondisi geografis di Papua menjadi salah satu faktor mengapa operasi militer sulit dilakukan.

Elang Hitam

Dibandingkan pemberontak di sana, personel Indonesia kurang ahli dalam menguasai medan. Keadaan ini tentunya meningkatkan tingkat kerentanan personel Indonesia, tentunya seperti telah dijelaskan di atas juga akan meningkatkan tingkat ancaman.

Oleh karena itu, UAV akan diperlukan untuk menyapu medan terjal, termasuk operasi pengintaian dan pengawasan yang sangat penting untuk melawan pemberontakan. Tentu saja bukan berarti Indonesia tidak pernah mengerahkan Drone-nya ke Papua.

Indonesia telah menggunakan drone di Papua sejak akhir tahun 2023. Namun, jenis drone yang mereka gunakan tidak diketahui; bagaimana jika mereka menggunakan drone non-militer? Apakah ini masih bermanfaat dalam hal pencegahan? Apakah akan sekuat drone militer?

Lebih jauh lagi, membela Indonesia tidak hanya dengan menjaga wilayah kita dari pemberontak tetapi juga dari ancaman luar. Laut Cina Selatan adalah wilayah besar yang berisiko mengalami eskalasi, dan UAV akan bermanfaat bagi Indonesia dalam menjaga pencegahannya.

Selain itu, kedekatan ibu kota baru Indonesia di Kalimantan dan Laut Cina Selatan harus menjadi pertimbangan untuk perlindungan lebih lanjut. Kehadiran UAV akan menjadi angin segar untuk meningkatkan kemampuan militer suatu negara, melancarkan operasi militer yang lebih efisien dan mengurangi ancaman terhadap personel—terutama di Indonesia yang wilayahnya luas dan ancamannya terletak di wilayah geografis yang sulit.**

Gufron Gozali dan Muhammad Rayhan Faqih Syahfa

Gufron Gozali adalah asisten peneliti dan Program Magister Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Gufron memiliki fokus pada kebijakan luar negeri Tiongkok, serta studi politik dan keamanan. Muhammad Rayhan Faqih Syahfa, merupakan lulusan master dari Macquarie University bidang Kajian Keamanan dan Strategis