Helo Timor Leste

Kakatua Jambul Kuning Pulau Moyo -3 habis): Jangan Sampai Tinggal Cerita

Satwika Rumeksa - Ragam -> Traveling
Rabu, 17 Jul 2024 19:30
    Bagikan  
Penyelamat kakatua
Gandhi Wasono

Penyelamat kakatua - Para penyelamat kakatua jambul kuning kiiri ke kanan. Ruslan - drh. Oka - Joni - Yudi - Saleh Amin

HELOTIMORLESTE.COM - Kecemasan akan punahnya Kakatua kecil Jambul kuning juga datang dari para pegiat lingkungan. Yudistira Sukma (35) dari Sumbawa Biodiversity (SuBio), sebuah kelompok konservasi lingkungan yang bergelut di bidang pelestarian dan perlindungan biodiversitas di Sumbawa, termasuk Kakatua-kecil Jambul-kuning, terus melakukan berbagai upaya penyelamatan.

“Saya tak ingin kelak anak-anak saya mengetahui kakatua itu hanya dari cerita dan buku saja tapi harus melihat secara nyata di habitatnya,” kata bapak satu orang anak tersebut.

Padahal, menurut Yudi yang juga aktif terjun sebagai relawan kebencanaan di berbagai wilayah Indonesia tersebut menguraikan kalau dilihat dari sejarah, Sumbawa yang termasuk di dalamnya wilayah pulau Moyo sejak jaman dulu dikenal sebagai habitat burung kakatua-kecil Jambul kuning. Itu diketahui salah satu nama kelurahan di dalam kota Sumbawa bernama “Pekat” yang dalam bahasa Sumbawa “pekat” merujuk pada kakatua kecil jambul kuning.

Bahkan, Alfred Russel Wallace dalam sebuah buku hasil ekspedisinya di Indonesia yang dilakukan tahun 1854-1862 ketika melintas di kawasan pulau Moyo, ilmuwan Inggris itu menggambarkan pepohonan sepanjang pantai terlihat putih karena banyaknya kakatua hinggap di dahan-dahan pohon.

Tak hanya itu kerajinan parang yang dibuat pengerajin besi dari Sumbawa tempo dulu menjadikan kakatua kecil Jambul kuning sebagai motif ukir gagang parang buatannya. “Tapi sekarang sudah tidak ada lagi yang memakainya sebagai logo karena kakatua sendiri sudah nyaris sulit ditemui,” imbuh bapak satu orang anak ini.

Yudi menceritakan ia mendirikan kelompok konservasi tersebut berawal ketika ia dan sahabatnya Joni Sari Wijoyo sering menjadi guide wisatawan ke Pulau Moyo. Tetapi setiap tamu datang hanya ingin melihat air terjun "mata jitu” yang pernah di kunjungi Lady Diana.

Baca juga: Kakatua Jambul Kuning Pulau Moyo-2: Harus Segera Dilakukan Gerakan Penyelamatan

“Sebenarnya ingin sekali mengajak tamu melihat kakatua tetapi bagaimana lagi memang disana jarang terlihat lagi.”

Pengamat

Lalu pada 2017, ada seorang dokter hewan bernama Oka Dwi Prihatmoko dari Bali, setelah dari Moyo kemudian singgah di kedai kopi miliknya. Oka yang juga seorang pelestari lingkungan, terutama burung paruh bengkok, menceritakan hal yang sama bahwa dirinya juga kesulitan untuk menemukan kakatua kecil Jambul kuning di Moyo.

Sejak pertemuan bertiga tersebut, mereka kemudian melakukan berbagai kegiatan seperti kampanye penyadaran ke anak sekolah dan masyarakat di desa penyangga, terutama di desa Labuan Aji, pendataan pohon sarang alami kakatua, dan lain-lain.

Sejak saat itu, sedikit-demi sedikit data sarang dan ancaman kakatua di Pulau Moyo mulai terkumpul. Selain itu, Yudi dan Joni, setiap membawa tamu ke Moyo, selalu menitipkan pesan ke masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian kakatua jangan sampai punah.

Seiring berjalannya waktu, Oka kemudian mengajak mereka mendirikan lembaga yang lebih besar yang bergerak di bidang pelestarian burung-burung paruh bengkok di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah kakatua. “Karena kami memiliki kegemaran yang sama, ajakan dokter Oka kami sambut,” paparnya. Pada akhir tahun 2022, lahirlah Yayasan Paruh Bengkok Indonesia yang di komandoi oleh drh. Oka.

Sebagai langkah awal, Yudi bersama Joni dan Oka, dibawah bendera Yayasan Paruh Bengkok Indonesia (PBI) dan Sumbawa Biodiversity (SuBio), membuat buku “Kakatua Kecil Jambul Kuning Pulau Moyo”, namun saat ini tengah dilakukan revisi setelah di edisi pertama sempat dicetak terbatas. Isi buku edisi pertama bercerita tentang hasil eksplorasi mereka sejak 2017. Pada edisi revisi yang sedang dikerjakan, kakatua Moyo disajikan secara lebih detail dari berbagai sisi, mulai dari sisi sejarah, bioekologi, konservasi hingga ulasan tentang protokol-protokol dari sisi ilmu kodekteran hewan.

Pada awal 2023, Yudi, Joni, dan Oka yang telah tergabung dalam Yayasan PBI, kembali melakukan kegiatan penelitan yang lebih serius terhadap kakatua kecil jambul kuning di Pulau Moyo. Kali ini, ikut bergabung juga dalam Yayasan PBI, Saleh Amin yang bertugas mendesain aspek ilmiah dan Nilam Chandra, alumni Kehutanan Universitas Mataram yang membantu urusan tumbuhan.

Dari hasil studi ini, mereka kemudian berinisiatif mencoba pendekatan sarang buatan (nest-box) yang disebar di daerah Brang Sedo. Tujuannya adalah untuk memperbanyak lubang sarang dan mengurangi kompetisi atau perebutan lubang sarang dengan jenis burung lain sehingga meningkatkan keberhasilan perkembangbiakan kakatua di Pulai Moyo.

“Karena literatur Kakatua jenis ini sangat minim bahkan nyaris tidak ada, maka satu-satunya cara yakni melakukan pengamatan langsung untuk melihat perilaku burung yang karismatik dan indah tersebut,” imbuhnya.

Untuk melakukan pengamatan di habitatnya, Yudi, Joni, dan Oka didampingi oleh Pak Ruslan yang sangat paham dengan medan Pulau Moyo. Pak Ruslan tahu dimana saja lokasi sarang kakatua berada. Sekali pengamatan bisa memakan waktu sampai seminggu tinggal di tengah hutan. Untuk istirahat Yudi dan kawan-kawan menggunakan tenda, di tepi pantai atau sungai, namun kebanyakan di dalam hutan.

Pegiat Lingkungan

Biaya untuk melakukan ekspedisi tersebut didapat dari swadaya alias kantong masing-masing namun yang terbesar sumbernya dari Oka. Pernah karena tidak ada biaya untuk menunjang kegiatannya tersebut, ia mencari dana dengan menjual kaos desain kakatua, keuntungan dari kedai kopi, hasil persewaan peralatan camping, sampai menyisisihkan sebagian ketika mendapat profesional fee ketika menjadi guide dari wisatawan.
“Pokoknya apa saja yang bisa menghasilkan kami lakukan. Kita harus kreatif sebab kegiatan ini tidak mendapat sokongan dana dari manapun”.

Baca juga: Kakatua Jambul Kuning Pulau Moyo: Perjuangan Ruslan Menyelamatkan Habitatnya dari Kepunahan

“Dari studi secara langsung tersebut akhirnya diketahui perilaku kakatua, sebaran sampai pergeseran musim bertelur yang ternyata bisa berubah-ubah karena faktor cuaca,” imbuhnya. “Pernah kami temukan, pohon yang ada sarang buatannya, masih kokoh berdiri, tidak ditebang oleh pemilik lahan. Ini menunjukkan bahwa keberadaan sarang buatan kami tersebut ternyata ada pengaruhnya juga,” lanjutnya.

Sementara Nurdin Razak, akademisi sekaligus praktisi di bidang ekowisata menguraikan jika aset yang terkandung di alam Moyo sangat luar biasa. Jika bisa mengelola dengan baik akan memberikan dampak ekonomi yang sangat bagus buat masyarakat.

“Baik hutan maupun lautnya luar biasa indah. Sayang kalau tidak dikelola dengan baik,” kata Nurdin yang sekaligus seorang fotografer alam liar yang sudah pernah menjelajah di 27 dari 51 Taman Nasional yang ada di Indonesia.

Nurdin yang memberikan pelatihan maping birding tour masyarakat komunitas Kakatua ranger selama tiga hari kepada warga setempat tersebut menjelaskan dengan memberikan edukasi maka selain kelestarian flora fauna Moyo terjaga maka ekonomi masyarakat bisa meningkat.(Gandhi Wasono)